Kurikulum
Anak Usia Dini, Perlukah??
Anak-anak
usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian, tak ada salahnya jika
orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka.
Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel,
sesuai dengan kemampuan dan minat anak.
Kelas-kelas
pra –sekolah seperti Play Group atau Taman Kanak-Kanak pasti memiliki kurikulum
dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak mau guru akan
menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi kemampuan yang
dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak valid,
karena guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka
mungkin menolak untuk melakukannya atau
hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena memang dia belum
berminat.
Dalam
hal inilah orang tua sangat berperan penting. Tugas orang tua untuk memahami
anak-anaknya dengan baik, sehingga tahu kapan harus memperkelanalkan sebuah
keterampilan, kapan harus menundanya, kapan harus memacunya lebih kencang, dan
bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk mempelajari sesuatu tanpa harus
dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain.
Secara
terstruktural, banyak model kurikulum anak usia dini yang telah dikembangkan di
dunia. Diantaranya adalah kurikulum Monntessori, Model ini cocok bagi mereka
yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak bersikap teratur dan
runut. Model Montessori lebih banyak mempergunakan perabotan rumah tangga
sebagai media dan mempergunakan kegitan rutin sehari-hari di rumah sebagai
aktivitas belajar. Sebuah buku yang berjudul Montessori untuk Prasekolah yang
disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock,
diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delaprasa Publishing. Buku
tersebut bisa memberi pengetahuan lebih detail kegiatan-kegiatan model
Montassori.
Sebuah
penemuan oleh Howard Gardner tentang multi kecerdasan yang menginspirasi untuk
menyusun kurikulum. Ada delapan atau sembilan jenis kecerdasan menurut versi
Gardner, yaitu kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik,
intrapersonal, interpersonal, musical, natural, dan spiritual. Ini bisa
dijadikan sebagai acuan untuk memilih ragamkegiatan bermain-belajar dirumah.
Thomas
Amstrong mencoba mengembangkan konsep multi kecerdasan dalam sebuah buku yang
berjudul Sekolah Para Juara. Konsep multi kecerdasan lebih banyak diterapkan di
sekolah formal untuk anak-anak. Tetapi hal itu tidak menginspirasi para orang
tua yang menerapkan konsep Amstrong belajar dalam mendidik anak usia dini di
rumah.
Kurikulum Berdasarkan Perkembangan
Anak
Menurut
Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan
Anak Usia Dini: 192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta.
Perkembangan
anak secara umum bisa diukur dengan beberapa ukuran perkembangan dan kita bisa
mengacu untuk menciptakan kurikulum pada teori perkembangan tersebut, berikut
gambaran kurikulum:
1.
Perkembangan
Fisik Motorik
-
Motorik kasar: berlari, menendang bola,
memenjat, berjalan pada titian keseimbangan, dll.
-
Motorik halus: makan dengan sendok,
menyisir rambut, mengikat tali sepatu, mewarnai pola, mengancing baju, dll.
-
Organ Sensoris: Membedakan rasa,
mengenali bau, mengenali warna benda, megenali cirri-ciri fisik benda, dll.
-
2.
Perkembangan
Kognitif
Misal: mengenal nama anggota keluarga,
mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal nama-nama warna, mengenal nama-nama
hari dan bulan, menghitung, menata, mengurutkan, mengetahuai perbedaan tinggi
dan rendah, besar dan kecil, panjang pendek, mengenal nama-nama huruf alphabet
atau membaca kata,mengetahui perbedaan waktu pagi, siang, atau malam, dll.
3.
Perkembangan
Moral dan Sosial
Misal: mengetahui sopan santun, mampu
bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman, mampu bergantian atau antre,
mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau sekolah, dll.
4.
Perkembangan
Emosional
Misal: menunjukan rasa saying pada
teman, orang tua, dan saudaranya, meunjukan rasa empati, mengetahui
symbol-simbol emosi: sedih, senang, marah, dan mampu mengontrol emosinya sesuai
dengan kondisinya.
5.
Perkembangan
Komunikasi (Berbahasa)
Misal: mampu mengungkapkan keinginannya
dengan kata-kata, mampu melafalkan kata-kata dengan jelas (bisa difahami orang
lain).
0 comments:
Post a Comment